Selasa, 30 November 2010

Untuk Mu Bumi Ku

Oleh : Riwan Kusmiadi


Kala itu langit masih biru seperti enggan tertutup awan. Sang angin setia mengaduk warna dan menghaluskan kanvas alam jagat raya. Dan gerimis turut melunturkan warnanya yang pekat, Memunculkan pelangi diantara celah celah mentari pagi. “ kanda tidak kah engkau lihat semua tersusun sedemikian rapinya, seolah melengkapi bingkai indah jendela jendela rumah kita...” ujar nya seraya merangkul ku dengan penuh manja.

Namun disana tak seindah disini dinda,..sungai yang dulu adalah cermin kini seperti kopi susu yang kau sajikan di pagi ini. Terdengar tangisan perbukitan dan savana yang tersayat cucuran air. Hutan menahan amarah dan bumi suaranya dipaksa bungkam karena hilangnya daya. Ia terkikis dan terlunta seperti pepatah “Habis manis sepah pun dibuang”. Seperti perjaka gagah yang telah dilucuti rambut dan baju besinya, ia menjadi ompong terpukul rahang kokohnya tanpa diberi peluang tuk membalas. Tanah yang menghitam subur kini kerontang dengan pasir yang memutih tua.

Mereka terus menggali,... seperti timah itu lebih mulia dari harga dirinya. Terus menggali seperti girang menyiapkan liang kuburan untuk ribuan anak cucunya. Menelanjangi bumi dengan tanpa mengganti bajunya setelah ia cuci tubuhnya. Ia semakin lemah seperti manula yang ditinggalkan anaknya, kotor, lusuh dan merana menahan dingin dikala hujan dan menahan sesak tatkala panas. Baginya mentari tidaklah seromantis cahayanya di pagi dan sore hari. Baginya gerimis bukanlah suasana sejuk yang selalu dinanti ribuan pasutri.

Perut adalah prioritas sedangkan otak tetap disimpan dalam kotak kaca yang berbingkai emas. Nuraninya pun sudah seperti hati seekor ayam yang sepuluh ribuan rupiah perkilogramnya. Demam kapital pun sedang mewabah, yang melupakan bahwa jentik- jentik nyamuk itu dapat merenggut nyawa anak cucunya, yang dapat menghabiskan energi dan menguras air mata ribuan ibu untuk anaknya.

Tahukah dinda,... ia akan menghilangkan pondok - pondok kebun yang ketika hujan selalu mengeluarkan asap kedamaian. Yang memanaskan ubi bakar dan air untuk menyeduh hitamnya kopi, serta hidupnya suasana dengan ikan asin sebagai simbol kemakmuran Bangka ku. Dan ia pun kan menghilangkan pedasnya lada Bangka dengan sejuta pesona di dalamnya,... aku tersayat dinda.

Masih adakah angin yang akan meniupkan kabar gembira itu. Yang menyampaikan merdunya petikan dengan jutaan getar dawai-dawai gitar. Yang kan menyelimuti telanjangnya tubuh bumi ku dan sudi menahan derai tetesan air mata ribuan ibu itu. Yang menyelamatkan nasib juataan anak cucu serta menjadikan mereka manusia bijaksana.

Dinda kumohon didiklah anak kita tuk mengerti tentang bumi, mengerti tentang orang-orang yang ada di dalamnya. Didik lah ia tuk menjadi lelaki dengan lengan yang kokoh yang dengan jemarinya ia dapat memberikan yang terbaik untuk sang Bumi. Menjauhkan dirinya dari kesombongan dengan selalu mengawali dan mengakhirinya atas nama Tuhannya.

Kamis, 21 Oktober 2010

Ia dan dirinya.

Oleh. Riwan kusmiadi

Tiada luput satu pun bisikan angin dengan semilirnya,..

Tiada pernah redup pula walau sedetikpun cahya dimatanya.

Dan yang kau sebut itu gemintang,...

Tiada tersipu sedikitpun kala menutup kerling disudut matanya.

Hanya haru disetiap detak jantungnya. Sesaat itu pun ia kan berkata....

" mengapa dikau harus jauh dariku.....duhai..."


Namun Angin beranjak,...

Seraya menghujamkan kukunya pada langit dan bumi.

Silih berganti...

menggatikan kecerahan warna menjadi kusamnya raut.

Hantu-hantu malam itu mulai bermunculan.

Dari masa silam menghantui disetiap pertengahan bunga mimpi yang

indah...

Kemudian sekejap menggetar-getarkan hatimu di balik duka yang dalam.

Berkali kali ia bisikan alasan itu dan engkau pun tak bergeming.

Dan gumam mu " bukan kah ini yang kau mau?"...

"bukankah dibalik rinduku ada ketidak acuhan mu...?"


Akankah ia selalu terukir lembut

Merubahnya sebagai tulisan indah tentang asmara

Seperti kupu-kupu yang hinggap diantara mawar berduri.

Walau tajam ia tatap indah dan tiada dua dialam fana.

Seperti yang kau sebut itu gemintang

yang hanya akan indah jika malammu telah tiba.

Rabu, 13 Oktober 2010

Separuh hati

oleh: Riwan kusmiadi



ku mengerti bagaimana kesepianku, seperti awan perlahan turun di kabut pagi tanpa angin,
seperti sepasang dara terpisahkan oleh badai diatas samudra,
seperti danau tenang yang hanya kusebrangi dengan perahu yang terkelupas warnanya,

jika pun boleh wahai dinda... sudilah kusibakkan pelangi dengan kedua imajinasiku.
dan akan ku raih bunga ilalang itu
lalu perlahan kuselipkan walau setangkai dirambut hitam indah mu.

langit....
ingin Ku katakan padanya dengan penuh cinta
seperti tangan tangan awan yang lembut dengan lentik jemarinya menyentuh diujung rembulan...
Ku sapa dirinya dengan kaki tanah yang kotor namun suci yang melambaikan bunga rumput dengan penuh cinta.
Seketika itu ia terbang ...
dan kembali menggapai bumi dengan perlahan seraya mengangukkan dagunya yang lembut.

dinda,... dengan kejujuran kuingin engkau mengerti.
bukan maksud hati tuk menakhlukkan dirimu
tapi ku hanya ingin memberikan separuh hati ini untuk mu.
agar engkau merasa bahagia dengan sepenuh hati hingga tiada sisa.


Rabu, 01 September 2010

Hati ku

Oleh: Riwan Kusmiadi

Trimakasih istri ku, yang telah membuat ku merasa tentram, membuat kurus badanku menjadi yg ideal, tirusnya pipiku menjadi berisi dan compang campingnya bajuku menjadi terlihat rapi, yang telah bersedia merasa ketakutan di rumah hantuku dan merasa kaya ditengah keterbatasan tanpa keluh sedikitpun serta yang paling tahu tentang hidupku.

Dan...rangkaian puisi-puisi itu memang indah dinda,.... namun jika pun harus memilih, kan terasa lebih nyata bila senyummu trus mencintaiku, dan jikapun bisa kan kuselipkan bunga senyummu dalam setiap tidurku, dan biarkan hatiku yang kan trus melumat racun tubuhku hingga ku terjaga dalam kedamaian.

I opened my wallet and found it empty, reached into my pocket and found a few coins, searched my heart and I found you! Then I realized how rich I am...

Selasa, 15 Juni 2010

Balada Temanku, Deritanya di Stasiun Tugu yogya

oleh: Riwan kusmiadi

Awan beriring hitam dan Angin berukir badai
keduanyapun berhenti.
Istirahat sejenak
dan setelah itu hancurkan dengan gemulai lentik jemari tangannya.

Sang dewi pun berlenggok mengahampiri .
Berjalan di sekujur peluh yang terperas oleh kejadian waktu itu.
Entah ia atau badai yang menemani
Itu pun tiada beda.

Siang ini rembulan menari
Namun bintang tetap bersembunyi
Mungkin karena sang dewi datang dengan setengah apel hijau yang telah terpotong.
setelah itu pergi dengan seonggok daging yang tertinggal dan kemudian membusuk serta basi.

Mungkin tercipta hanya untuk datang dan kemudian pergi kembali.
Mungkin terkulai hanya untuk rasa yang sangat iba
Mungkin jua tertawa hanya untuk kemudian duka yang mendalam.
Namun dengan pasti sang dewi pergi bukanlah untuk kembali.

Dan ia berkata seraya mengadu pada gemuruh diantara gerbong itu
Yang telah menjadi saksi keremukan karang yang Ia pertahankan untuk nya.
Menjadi saksi kebisuannya dengan gemuruh kata yang tak terbendung.
Menjadi saksi tersimpannya kepalan tangan kirinya dengan ujung kelingking yang penuh dendam.

Bersabarlah teman
Mungkin jua iapun kan merasa derita yang sama
Sampai ketika ia tersadar dengan tidurnya yang berselimut mimpi
Bersabarlah ...hingga bidadari surgamu datang dan menggantikannya untuk mu.

Romatisme memang tak harus ping

By. Riwan Kusmiadi

Ada yang menggemuruh, menderu, tercabik ,dan terombang abing bak biduk ditengah hindia.
Terlepas dan hanya asinnya laut serta pecahan kapal.
Tergeming pun tidak ,hanya belantara harapan yang menghijau dan kian lama menjadi gersang bagai unta kehausan ditengah sahara.
Namun...biarkankanlah asa itu tetap menggila walau jauh dari nyata, biarkan saja harapan itu ada, karna ...itu memang harus ada.
Wahai Sang Keindahan,…sastramu mengugurkan sejuta peluh penat,membasuhi kalbu dengan harumnya kasturi, indahnya pelangi dan bebungaan tujuh taman nan menawan.
Asmamu merindingkan kuduk, meluluhkan mata , lembabkan pipi yang merona legakan jiwa. Ya.... yang kucinta, peluk aku, jangan kau lepas, jangan biarkan ku tersesat , jangan biarkan ku menjauhi mu.
Jagalah hatiku yang liar kadang tak terkendali ini.... ya... yang ku cinta
Kala itu,..
lembayung tetap tulus,masih ikhlas seperti dulu .
Seperti bunga jambu yang ku genggam lewat hari itu .
Sedikit terkoyak kelopak halus dan sempat ku campakan.
Seakan untuk menutup setiap bicara sang durja yang dusta .
Seperti tersentuh tajuk bayu...lalu terdiam.
kulihat indahnya syair yang tesusun, lantas langit masih tetap tulus membiarkan diriku tercubit dan bicara....
Ketika harum madu bunga menusuk hidung dan berkuduk.
Seperti angin yang tak mau tau wujud sentuhan dan porandakan hati.
Hari yang berlalu pun merubah rindu pada sosok yang tak utuh.
Rapi tertata dari puing asmara yang runtuh, dan lihat..
ia berdiri di atas angan dan terjelma atas kuasanya.
walau terseok ia tetap bertahan, walau tertatih ia tetap setia, walau duka ia tetap tersenyum bersahaja, ah..bersabarlah teman..
Dan langit?,….pesta warnamu talah usai,..sedari pagi gelombang warna kau mainkan dari hitam ke putih, biru ke jingga dan perlahan keabuan.
bukankah malam baru dimulai mengapa pestamu telah usai?.
Namun ternyata romantis tak harus ping,..sorban hitam itu pun membuat hatiku luluh lantah.
kaki bergetar seolah tak sanggup ku berdiri diatas singgasanaku.
Dan sesaat itu pula ...kuramu hati manisku untuk mu.