Oleh : Riwan Kusmiadi
Kala itu langit masih biru seperti enggan tertutup awan. Sang angin setia mengaduk warna dan menghaluskan kanvas alam jagat raya. Dan gerimis turut melunturkan warnanya yang pekat, Memunculkan pelangi diantara celah celah mentari pagi. “ kanda tidak kah engkau lihat semua tersusun sedemikian rapinya, seolah melengkapi bingkai indah jendela jendela rumah kita...” ujar nya seraya merangkul ku dengan penuh manja.
Namun disana tak seindah disini dinda,..sungai yang dulu adalah cermin kini seperti kopi susu yang kau sajikan di pagi ini. Terdengar tangisan perbukitan dan savana yang tersayat cucuran air. Hutan menahan amarah dan bumi suaranya dipaksa bungkam karena hilangnya daya. Ia terkikis dan terlunta seperti pepatah “Habis manis sepah pun dibuang”. Seperti perjaka gagah yang telah dilucuti rambut dan baju besinya, ia menjadi ompong terpukul rahang kokohnya tanpa diberi peluang tuk membalas. Tanah yang menghitam subur kini kerontang dengan pasir yang memutih tua.
Mereka terus menggali,... seperti timah itu lebih mulia dari harga dirinya. Terus menggali seperti girang menyiapkan liang kuburan untuk ribuan anak cucunya. Menelanjangi bumi dengan tanpa mengganti bajunya setelah ia cuci tubuhnya. Ia semakin lemah seperti manula yang ditinggalkan anaknya, kotor, lusuh dan merana menahan dingin dikala hujan dan menahan sesak tatkala panas. Baginya mentari tidaklah seromantis cahayanya di pagi dan sore hari. Baginya gerimis bukanlah suasana sejuk yang selalu dinanti ribuan pasutri.
Perut adalah prioritas sedangkan otak tetap disimpan dalam kotak kaca yang berbingkai emas. Nuraninya pun sudah seperti hati seekor ayam yang sepuluh ribuan rupiah perkilogramnya. Demam kapital pun sedang mewabah, yang melupakan bahwa jentik- jentik nyamuk itu dapat merenggut nyawa anak cucunya, yang dapat menghabiskan energi dan menguras air mata ribuan ibu untuk anaknya.
Tahukah dinda,... ia akan menghilangkan pondok - pondok kebun yang ketika hujan selalu mengeluarkan asap kedamaian. Yang memanaskan ubi bakar dan air untuk menyeduh hitamnya kopi, serta hidupnya suasana dengan ikan asin sebagai simbol kemakmuran Bangka ku. Dan ia pun kan menghilangkan pedasnya lada Bangka dengan sejuta pesona di dalamnya,... aku tersayat dinda.
Masih adakah angin yang akan meniupkan kabar gembira itu. Yang menyampaikan merdunya petikan dengan jutaan getar dawai-dawai gitar. Yang kan menyelimuti telanjangnya tubuh bumi ku dan sudi menahan derai tetesan air mata ribuan ibu itu. Yang menyelamatkan nasib juataan anak cucu serta menjadikan mereka manusia bijaksana.
Dinda kumohon didiklah anak kita tuk mengerti tentang bumi, mengerti tentang orang-orang yang ada di dalamnya. Didik lah ia tuk menjadi lelaki dengan lengan yang kokoh yang dengan jemarinya ia dapat memberikan yang terbaik untuk sang Bumi. Menjauhkan dirinya dari kesombongan dengan selalu mengawali dan mengakhirinya atas nama Tuhannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar