Oleh:
Atiek Kusmiadi
Untuk
yang ke sekian kalinya Drajat membaca surat itu. Bola matanya menari
dari satu kata ke kata lainnya. Drajat merasa sudah hampir hafal
setiap kata yang tertulis di sana. Namun begitu, tetap saja ia merasa
ingin membaca surat itu. Lagi dan lagi.
Sejak
kedatangan surat itu tiga hari yang lalu, Drajat seperti kebingungan.
Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti deretan kata yang
tak dipahaminya. Setiap tindakan yang ia buat bagaikan ia tak ada di
sana. Drajat bimbang. Mengambang. Sesungguhnyalah ia sangat
kebingungan.
"Anakku
di kampung harus segera dioperasi, Man. Tumor di otaknya tak bisa
lagi menunggu lama," kata Drajat kepada Oman, teman satu kosnya.
"Kata dokter, kalau tidak segera dioperasi Handoko anakku itu
tidak akan bisa hidup lebih lama."
Oman
diam saja. Dia sendiri tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur
Drajat. Selama di Jakarta, hidup mereka berdua sama saja susahnya.
Pekerjaan sebagai kuli bangunan sama sekali tidak menjanjikan
apapun. Hanya cukup untuk bayar kos murahan, makan dua kali sehari
dan kalau berhemat-hemat bisa mengirimkan uang seadanya ke kampung.
"Sabar,
Jat. Semua persoalan pasti ada jalan keluarnya," kata Oman
sembari menepuk-nepuk bahu Drajat. Sesungguhnya ia sendiri tidak
yakin pada perkataannya. Tapi apa lagi yang bisa dikatakannya untuk
menghibur Drajat yang tampak sangat putus asa itu?
Drajat
membaringkan tubuhnya di atas kasur tipis tanpa sprei yang setiap
hari ia tiduri bersama Oman. Saking tipisnya, Drajat masih dapat
merasakan dingin lantai di bawahnya menembus hingga ke kulitnya. Di
luar hujan masih menggemuruh. Seharian ini Drajat dan kawan-kawannya
sesama kuli sama sekali tidak bisa bekerja. Hujan yang turun sangat
deras sejak subuh menghalangi mereka untuk bekerja.
Drajat
menarik sarung tua miliknya yang sudah setia selama bertahun-tahun
menemani. Dulu, sarung itu dibelikan istrinya di Pasar Pembangunan di
kampung halamannya. Bukan sarung mahal, tapi Drajat sangat gembira
waktu istrinya memberikan sarung itu sebagai hadiah ulang tahun.
Seumur-umur tidak pernah Drajat menerima hadiah ulang tahun. Bahkan
ia sendiri tidak pernah mengingat-ingat tanggal kelahirannya karena
memang ia merasa tidak ada gunanya.
Ditutupinya
seluruh tubuhnya dengan sarung itu. Dingin begitu menggigit. Drajat
meringkuk di pojokan. Tapi ia sama sekali tidak mampu memejamkan
mata. Bayangan Handoko, anak sulungnya, memenuhi pelupuk matanya.
"Ya
Tuhan, mengapa harus Handoko?" rintihnya dalam hati. Handoko
adalah putera pertamanya yang ia peroleh dengan susah payah. Tujuh
tahun setelah menikah, Drajat dan Narti istrinya masih belum memiliki
keturunan. Segala cara sudah mereka coba. Tapi hasilnya tetap nihil.
Mendekati
usia sepuluh tahun perkawinan baru Handoko lahir. Disusul kedua
adiknya. Walau sangat menginginkan anak, tapi kelahiran tiga anaknya
membuat Drajat harus ekstra keras membanting tulang. Dan penghasilan
dari buruh angkut pasar yang tidak seberapa memaksa Drajat mengadu
peruntungan di ibu kota.
Namun
sayang, di ibu kota nasibnya sama sekali tidak membaik. Tidak ada
pekerjaan yang bisa ia dapatkan. Minimnya pendidikan dan ketrampilan
membuat Drajat kalah bersaing dengan jutaan pencari kerja lain yang
memadati Jakarta. "Itu karena sampean sama sekali tidak
memiliki daya tawar," demikian kata seorang mahasiswa yang dulu
tinggal di sebelah kosannya. "Penampilan minim, ketrampilan nol,
pendidikan minus, lalu apa yang bisa sampean jual?" kata
mahasiswa itu jujur, namun entah kenapa terdengar kejam.
Tapi
Drajat tidak bisa menyalahkan penilaian jujur sang mahasiswa. Yah,
memang begitulah keadaannya. Dan kini, dengan penghasilan yang ia
peroleh dari pekerjaan sebagai kuli bangunan Drajat mati kutu
menghadapi vonis dokter atas penyakit anaknya.
Sampai
hari ini, surat dari isterinya itu belum sempat ia balas. Bukan
karena ia tidak punya waktu, tapi karena Drajat tidak tega mengatakan
kepada isterinya bahwa ia tidak punya uang atau harta yang bisa ia
jual untuk biaya pengobatan buah hati mereka. Narti pasti sangat
gelisah menanti jawaban darinya. Terlebih maut terasa begitu dekat
membayangi putra mereka Handoko. Dan waktu...tentu saja waktu tak
akan pernah mau menunggu!
Dari
beberapa teman yang ia datangi, tak satupun yang bisa membantunya.
Yah, bagaimana bisa membantu lha wong untuk hidup sendiri saja susah.
Drajat putus asa. Ia tidak melihat ada celah yang bisa menolongnya.
Mengharapkan teman, jelas itu tidak mungkin. Seluruh teman-temannya
itu miskin. Beberapa malah lebih miskin dari dirinya. Lalu bagaimana
ia mendapatkan uang Rp 50 juta yang diminta dokter?
Satu-satunya
harta berharga milik mereka adalah rumah yang kini ditinggali isteri
dan anak-anaknya. Tapi kalau rumah itu dijual, dimana mereka akan
tinggal? Sementara bantuan dari saudara sepertinya berat untuk
diandalkan.
Tiba-tiba
Drajat teringat sesuatu. Pak Mandor! Ya, mengapa selama ini tak
pernah terpikir olehnya? Bukankah ia bisa mencoba menemui Pak Mandor
dan menceritakan kesulitannya. Siapa tahu Pak Mandor bisa membantu.
Bukankah yang namanya mandor uangnya pasti banyak?
***
"Apa?
Kamu mau minta tolong Pak Mandor?" Oman kaget ketika pagi itu
Drajat mengatakan kepadanya bahwa ia akan menemui Pak Mandor.
"Ya,
siapa tahu dia bisa menolongku," jawab Drajat.
"Jaat....Jat!
Kayak kamu nggak kenal Pak Mandor saja. Dia itu kan terkenal
pelitnya! Mana mau dia membantu kamu, apalagi memberikan duit segitu
banyaknya!" kata Oman.
"Tapi....."
"Aku
nasehatkan kepadamu, Jat. Daripada kamu sakit hati nanti dimaki-maki
Pak Mandor, lebih baik kamu urungkan niatmu itu. Aku jamin Pak Mandor
tidak akan memberikan pinjaman sepeserpun untuk kamu!" kata
Oman.
Drajat
diam. Oman benar, pikirnya. Selama ini seluruh kuli yang bekerja di
proyek takut kepada Pak Mandor. Dia tipe orang yang selalu ingin
menunjukkan kekuasaannya. Orang lain tak boleh ada yang membantah
seluruh perintahnya. Belum lagi kalimat-kalimat pedas yang selalu
berloncatan keluar dari mulutnya yang berbisa. Terutama kalau sedang
marah.
Tidak,
tidak ada satupun kuli di proyek itu yang mau berurusan dengan Pak
Mandor kalau tidak terpaksa.
"Tapi
aku tidak punya pilihan, Man. Aku harus mencoba betapapun musykil
kemungkinan yang ada," kata Drajat kukuh.
***
"Dasar
tidak tahu diuntung! Kamu pikir aku ini bank yang bisa seenaknya
ngasih kamu duit?!" Siang itu suara Pak Mandor yang menggelegar
terdengar oleh seluruh kuli yang sedang istirahat makan siang. Oman
yang duduk bersama kuli lain bisa menebak apa yang sedang terjadi di
kantor Pak Mandor. "Pasti karena Drajat," batin Oman.
"Tapi
Pak, saya....,"
Drajat
tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena kata-kata yang kemudian
keluar dari mulut Pak Mandor lebih keras memotong suaranya.
"Tidak
ada tapi. Sudah untung kamu aku terima kerja di sini. Kamu pikir
dengan diterima bekerja di sini kamu bisa seenak perutmu minjem duit?
Dengar ya. Walaupun kamu seumur hidup jadi kuli di sini, kamu tidak
akan pernah bisa membayar cicilan untuk melunasi uang Rp 50 juta yang
kamu minta. Jadi sekarang lebih baik kamu keluar dan kembali
bekerja!" maki Pak Mandor.
"Tapi
bagaimana dengan nasib anak saya, Pak?" tanya Drajat masih terus
berusaha. Ia tidak punya pilihan. Cuma Pak Mandor satu-satunya
harapan untuk bisa mendapatkan pinjaman uang. Yah, walaupun tidak Rp
50 juta, berapa sajalah yang diikhlaskan Pak Mandor, demikian batin
Drajat.
Tapi
apa yang didengarnya kemudian membuat Drajat tak bisa bergerak dan
hanya mampu terpaku di tempatnya berdiri.
"Dengar!
Aku tidak peduli bagaimana nasib anakmu. Aku tidak peduli kalaupun
dia mampus sekalipun! Sekarang keluar!" Pak Mandor meledak.
Sekonyong-konyong
Drajat merasakan tekanan yang maha hebat mendesak-desak di dalam
kepalanya. Aliran darahnya berhenti sejenak dan tiba-tiba mengalir
deras menciptakan tekanan lain yang terus naik ke kepala. Menusuk,
menghantam, dan bagaikan palu yang terus-menerus dipukul menggempur
kesadarannya. Tekanan itu demikian keras menyerang Drajat dari
berbagai arah. Drajat berusaha mengendalikan diri, tapi sia-sia.
Drajat
tidak mampu lagi mencerna apa yang dialaminya. Pandangannya gelap.
Hatinya panas seperti akan meledak. Drajat merasakan bumi seakan
berputar-putar. Sedetik Drajat tidak sadar apa yang terjadi di
sekelilingnya. Namun ketika kesadaran itu datang, semua sudah
terlambat.
Drajat
melihat Pak Mandor terkapar di hadapannya bersimbah darah. Sebilah
kayu besar tergeletak di sampingnya. Berlumuran darah sama banyaknya.
Drajat
mendapati dirinya bersimpuh di dekat mayat Pak Mandor. Ketegangan
merayapi dirinya. Apa yang sudah kulakukan? Drajat membatin gelisah.
Oman
dan teman-teman Drajat lainnya tiba-tiba sudah berdiri mengelilingi
Drajat dan jenazah Pak Mandor. Seruan tertahan dan kengerian
membayang jelas di bola mata mereka.
****
Untuk
yang ke sekian kalinya Drajat membaca surat itu. Bola matanya menari
dari satu kata ke kata lainnya. Drajat merasa sudah hampir hafal
setiap kata yang tertulis di sana. Namun begitu, tetap saja ia merasa
ingin membaca surat itu. Lagi dan lagi.
Surat
itu datang tiga hari yang lalu. Dari istrinya, Narti. Bukan, Narti
bukan ingin meminta uang untuk biaya operasi anaknya. Tapi lebih dari
itu, Narti menulis bahwa kini Handoko tidak lagi membutuhkan biaya
operasi. Bahkan kini Handoko sudah terbebas dari rasa sakit yang tiap
hari menyiksanya. Handoko sudah meninggal.
Drajat
merasakan matanya panas. Sebulir air bening jatuh dari sudut matanya.
"Maafkan
Bapak, Han...Maafkan Bapak. Bapak memang tidak berguna....Tidak
berguna! Handoko...Handoko!!" Drajat berteriak sekuat tenaga.
Namun
seberapapun kuat Drajat berteriak, tetap saja beban yang menghimpit
ruang dadanya tak pernah berkurang sedikitpun. Teriakannya hanya
membentur dinding-dinding berjeruji yang kini mengurungnya. Drajat
terpenjara. Lahir dan batin! (*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar