Senin, 30 Maret 2009

SMS

Oleh: Atiek Kusmiadi

Tak sengaja sebetulnya aku membaca SMS itu. Dari kebiasaan bermain-main dengan hape orang-orang di rumah, baik itu hapeku, anakku sampai hape suamiku. Apalagi hape suamiku itu keluaran terbaru yang dibelinya kurang dari seminggu lalu. Dan bagiku yang terbiasa dengan hape butut, tentu saja aku jadi lebih penasaran ingin mengeksplornya.
Terlebih hari ini hari Minggu. Aku tidak perlu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan anak dan suami. Anakku juga sedang menginap di rumah neneknya. Dan suamiku, pada jam segini (kulirik jam di samping tempat tidur, pukul 06.00 WIB) pastinya lagi nonton berita pagi di tv.
Kuraih sebuah hape yang berada dalam jangkauan terdekat denganku. Hape suamiku. Memang sudah menjadi kebiasaannya meletakkan hape di bawah bantal karena kadang-kadang sebelum tidur ia asyik mendengarkan lagu-lagu dari headset.
Sambil merilekskan diri karena kupikir hari ini hari libur, jariku mulai lincah berpindah dari satu tuts ke tuts lainnya. Memuaskan rasa ingin tahuku pada fitur-fitur yang dimiliki oleh hape yang menurut suamiku canggih itu.
Dari game, internet, galeri foto hingga akhirnya petualanganku berlabuh di layanan Pesan. Awalnya karena penasaran. Di dalam layanan Pesan Masuk tertera sederet pesan yang dikirimkan dari satu nomor yang sama. Sempat aku menghitungnya. Ada 10 pesan sekaligus. Nomor yang sama. Tanpa jeda. Lha, jarang-jarang toh orang ngirim 10 SMS sekaligus kalau tidak penting-penting amat.
Kubuka SMS pertama dari nomor itu. Wuss...hatiku langsung berdebar kencang. Kubuka SMS berikutnya, debaran itu semakin bertambah keras memukul-mukul dadaku. SMS ketiga, seperti sebuah batu besar jatuh menimpaku dan menghimpitku tepat di bawahnya. Tak bisa bergerak. Tak bisa bernafas. Dan ketika sampai di SMS terakhir aku sudah kehabisan kekuatan untuk mencerna apa yang baru saja aku baca.
Perempuan itu....Ya, samar-samar aku jadi ingat kembali sebuah kisah yang pernah diceritakan suamiku dulu, ketika kami belum mengikatkan diri pada komitmen pernikahan. Saat itu suamiku menceritakan bagaimana hubungannya dengan seorang perempuan dari masa lalunya. Yang berharap terlalu banyak dari dirinya yang tak bisa menawarkan apa-apa selain ketidakmampuannya untuk berterus terang mengatakan bahwa ia tidak bisa mencintai perempuan itu.
Dan kini, SMS-SMS tersebut berisi gugatan atas ketidakbahagiaan yang perempuan itu alami dari hubungan yang ia ciptakan dengan suamiku dulu. Gugatan yang menurutku sangat tidak pada waktunya.
Rasa penasaran terhadap apa jawaban suamiku terhadap SMS itu tidak lebih kecil dari rasa penasaranku ketika menemukan SMS itu tadi.
Di file Berita Terkirim aku dapat secara jelas membaca seluruh jawaban suamiku terhadap SMS dari perempuan itu. Dan kenyataan yang kuhadapi ternyata lebih menyakitkan daripada ketika tadi aku membuka SMS perempuan itu.
Gedubrak!!
Pintu kamar kubanting sekuat tenaga. Suamiku yang sedang duduk nonton televisi langsung menoleh. Dapat kutangkap keterkejutan di wajahnya. Aku memang tidak pernah bereaksi sekeras ini terhadap persoalan-persoalan yang kadang menimpa rumah tangga kami. Tapi saat ini aku tak peduli. Bahkan kalau harus memecahkan seluruh jendela dan membanting seluruh pintu yang ada di rumah ini sekalipun emosiku masih belum dapat terpuaskan. Dan itu membuatku tak mampu berkata-kata ketika suamiku menuntut penjelasan atas tindakanku itu.
"Ada apa? Kenapa membanting pintu?" ia bertanya tegas. Tapi di telingaku suaranya itu bagaikan suara orang yang penuh kepura-puraan.
Aku tidak bisa menjawab. Air mata mulai menggenangi pelupuk mataku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meredam ledakan-ledakan yang terjadi di dalam diriku. Mungkin kalau saat ini ada seseorang yang menyiramkan bensin ke arahku, badanku bisa langsung terbakar karena panasnya!
Sebagai jawaban, kulemparkan hape yang baru dibeli suamiku dengan uang bonus awal tahun dari kantornya itu ke dinding. Pyaarr!! Hape itu pecah berantakan.
Dapat kulihat dengan jelas perubahan di diri suamiku. Wajahnya menjadi tegang dan memerah. Mungkin ia marah. Tapi di mataku perubahan di wajahnya itu lebih karena dosanya yang terbongkar, bukan karena amarah yang ia tahan.
"Biar aku jelaskan," desisnya.
"Tak ada yang perlu kamu jelaskan!" mataku garang menatap langsung ke matanya. "Sungguh, aku sama sekali tidak mengira kau bisa melakukan ini. Kau sembunyikan semuanya dariku seolah tidak pernah terjadi apa-apa."
"Aku tidak bermaksud begitu," katanya pelan.
"Apapun maksud kamu, yang jelas kamu sudah tidak jujur kepadaku. Apa yang kamu harapkan dari semua ini? Apakah kamu pikir dengan SMS-SMS itu kamu bisa menembus lorong waktu dan memperbaiki keadaan untuk menebus rasa bersalahmu karena sudah meninggalkannya dulu?" Aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang kupikirkan.
Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada laki-laki yang kini berstatus sebagai suamiku itu. Apa yang ada di pikirannya ketika meladeni SMS-SMS tak berguna itu. Apakah keberadaan aku sebagai seorang isteri sama sekali tak menjadi pengingat baginya dalam berhubungan kembali dengan perempuan itu dan mengenang semua masa lalu mereka? Semua pertanyaan itu berkumpul di kepalaku, berdesakan ingin saling mendahului keluar.
Tapi saat ini aku sedang tidak ingin mendebat siapa-siapa. Kenyataan yang kuhadapi telah mengguncangkan kesadaran dan minatku terhadap apapun. Kubanting pintu dan masuk ke kamar. Di atas kasur aku menangis sepuasnya.
Dapat kudengar samar-samar laki-laki itu memanggil-manggil namaku.

***

Kebuntuan dan kebisuan di antara aku dan suamiku tak pernah terpecahkan berhari-hari setelah hari Minggu itu. Aku tak peduli dan aku tak ingin berusaha mencairkan keadaan. Aku tidak sudi. Kalau dia tak menganggap keberadaanku sebagai seorang isteri, maka untuk apa aku harus repot-repot menghormatinya sebagai suami? Aku sendiri tak menyangka, dendam itu ternyata begitu cepat menguasai jiwaku.
Bahkan berhari-hari setelah peristiwa itu pun, ingatan akan SMS-SMS tersebut masih mampu membuat air mataku mengalir deras. Mengingat-ingat kesalahan memang selalu jauh lebih mudah daripada memaafkan!

***

Empat hari setelah peristiwa itu suamiku jatuh sakit. Aku tidak tahu pasti penyakit apa yang dideritanya. Aku tidak peduli. Yang aku lihat, ia terlihat jauh lebih lemah. Tubuhnya layu. Pucat. Tak bersinar.
Sama sepertiku, suamiku juga tak lagi banyak berbicara. Tak lagi ia berusaha membela diri atas semua tuduhan yang pernah aku lontarkan kepadanya. Ia kini lebih banyak diam. Sekali-sekali ia menyapaku, tapi aku tak berminat untuk membalas sapaan-sapaannya.
Namun betapapun dalam luka yang tertoreh di dalam hatiku, tetap saja lama kelamaan aku tak tega melihat kondisi suamiku. Sudah dua hari ini ia terbaring di tempat tidur. Badannya terasa panas. Ini aku tahu ketika secara tak sengaja menyentuh tangannya.
"Mungkin sebaiknya kamu ke rumah sakit," kataku dengan nada yang tak terlalu ramah. Sakit hatiku membuatku lebih suka memanggilnya dengan "kamu" saja. Bukan "Mas" seperti sebelumnya.
"Tidak usah," ia menjawab singkat.
"Kalau begitu, makanlah dulu." Aku sama sekali tak berusaha membujuknya untuk mau ke dokter. Kebiasaan yang selalu harus kulakukan setiap kali laki-laki itu sakit. Tapi kini aku tak berminat melakukannya. Biar saja, kalau tak tahan lagi toh ia akan berobat juga. Demikian batinku.
Tapi perkiraanku salah. Ia tetap tak kemana-mana. Dan kondisinya semakin hari semakin lemah. Anehnya, rasa kesalku kepadanya lebih besar daripada rasa kasihanku. Aku kesal karena ia membiarkan dirinya dikalahkan oleh penyakit itu. Aku kesal karena ia tak berusaha untuk sembuh. Apakah itu caranya untuk menghukum dirinya sendiri?!
"Jangan menyiksa dirimu sendiri seperti itu," kataku suatu malam, bagaimanapun aku tak ingin melihat dirinya terkapar terus menerus di tempat tidur.
Tapi ia sama sekali tak menjawab. Hanya matanya menatap lurus ke mataku. Lama sekali. Aku dapat melihat sebersit kepedihan terpancar di sana. Bahkan kulihat mata itu mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan....tiba-tiba aku sadar bahwa suamiku sama terlukanya seperti aku. Walaupun mungkin untuk alasan yang berbeda.
"Mengapa kau tak bisa memaafkan?" desahnya pelan hampir tak terdengar.
Aku terpana mendengar dalamnya kesedihan yang menggantung dalam suara itu. Benarkah reaksiku sudah demikian melukai hati laki-laki ini? Tiba-tiba saja aku tidak mengerti harus berbuat apa. Tatapan mata suamiku yang sarat akan luka dan kesedihan ternyata membuat hatiku lebih terluka daripada sebelumnya. Aku sadar bahwa aku teramat mencintai laki-laki ini. Aku terluka ketika melihat ia terluka. Dan aku menderita melihat kesedihan yang membayang jelas di matanya. Di suaranya. Di penderitaannya.
"Ibu....Ibu...!"
Tiba-tiba suara anakku menyentakkan lamunanku. Aku berlari keluar kamar. Kudapati anakku sedang menangis sambil memanggil-manggil suamiku yang terkapar di lantai kamar mandi. Ya Tuhan, aku sama sekali tak menyadari kalau tadi suamiku sudah beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke kamar mandi. Kondisinya yang semakin lemah ternyata tak mampu menopang tubuhnya sehingga ia terjatuh.

***

"Suami ibu saat ini dalam keadaan koma. Kapan ia bisa sadar kembali kami tidak tahu. Bisa sehari, sebulan, setahun....atau mungkin tak akan pernah sadar sama sekali. Yang bisa kita lakukan saat ini hanya menunggu dan berdoa untuk yang terbaik," suara dokter masih terngiang-ngiang di telingaku. Tapi aku tak bisa lagi menangis. Seluruh emosi yang bercampur aduk di hatiku membuatku tak tahu lagi mesti menangis atau bagaimana. Semua terlalu cepat terjadi. Sebelum aku sempat mencernanya.
Di hadapanku, suamiku terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan selang infus menancap di tubuhnya. Sama sekali tak ada gerakan. Hanya nafas yang terlihat samar-samar.
Dalam hati aku meraung-raung melihat betapa tak berdayanya orang yang kucintai itu kini.
Keesokan hari, ketika berkesempatan pulang ke rumah aku hanya duduk di tepi tempat tidur kami. Aku hanya bisa menciumi bantal suamiku yang kemarin masih ia tiduri. "Ya Tuhan...aku mencintai suamiku. Kembalikan ia Tuhan....Beri kesempatan kepadaku untuk meminta maaf kepadanya. Aku tak peduli apa yang sudah ia lakukan. Aku tak peduli. Aku hanya ingin ia kembali kepada kami, kepadaku dan kepada anakku."
Di balik bantal itu kutemukan hape milik suamiku yang tempo hari kubanting dan hancur berantakan. Tapi kini hape itu sudah kembali utuh. Rupanya suamiku sudah menyatukan kembali potongan-potongannya yang saat itu berserakan entah kemana-mana.
Kutekan tuts-tutsnya, walau tanpa emosi apapun. Bahkan aku tidak sadar ketika sampai pada file Berita Tersimpan. Hanya ada satu SMS di file itu.
"Sikapku telah membuat orang yang sangat kucintai terluka. Tapi sama sekali tak ada maksudku untuk menyakiti. Tahukah engkau, sikapmu yang tak mau memaafkan salahku itu juga telah membuatku terluka? Tapi untuk menebus kesalahan itu, akan kutahan dan kuikhlaskan luka itu....Dan aku.....".
Aku tak mampu melanjutkan membaca SMS yang tak pernah terkirim itu. Mataku sudah dipenuhi air mata. Kupeluk bantal itu erat-erat. Kuciumi. Kudekap. Sembari berharap bahwa dirimulah yang kudekap dan kuciumi itu, suamiku.... (*)

Tidak ada komentar: