Selasa, 20 Mei 2008

Wak Tejo

Oleh: Atiek Kusmiadi

Wak Tejo tepekur di bangku kayu depan rumahnya. Pikirannya berkelana ke masa-masa yang telah dilalui. Sebentar ingatannya hinggap pada cerita masa mudanya, di mana dulu bersama isteri tercinta ia berjuang keras menaklukkan nasib. Sebentar kemudian ia menekuri kehidupan yang kini ia jalani. Kehidupan yang dulu sama sekali tidak pernah ia bayangkan. Di usianya yang sudah kepala enam Wak Tejo masih harus berkutat dengan berbagai permasalahan hidup yang pelik. Anak-anak yang diharapkan mampu menjadi pelindung dimasa tua ternyata justru telah menggerogoti nyawanya. Dari kedua anaknya hanya si bungsu yang memiliki perhatian lebih padanya. Namun ia tidak dapat berharap banyak karena sejak menantunya meninggal kini anak bungsunya itu harus sendirian saja menanggung beban keluarga. Tentu bukan beban yang ringan bagi seorang janda untuk menghidupi empat anak-anaknya. Wak Tejo tidak mau menambah berat beban anaknya itu dengan persoalan hidup miliknya. Tidak, ia lebih suka menikmati persoalan demi persoalan itu sendiri. Wak Tejo memilih untuk tetap tinggal di rumahnya bersama anak tertua, menantu dan cucu-cucunya. Walau kadang ia merasa terasing di rumahnya sendiri namun Wak Tejo tetap bertahan. "Ah, seandainya kamu belum meninggal Sum. Tentu tidak seperti ini hidupku," Wak Tejo membatin. Tapi apa mau dikata, Sumi isterinya tercinta, telah dipanggil Yang Kuasa sejak bertahun-tahun yang lalu. Tinggallah kini Wak Tejo sendirian menapaki hari demi hari yang sarat dengan beban dan persoalan. Ketika dulu Ndari anak sulungnya bermaksud menikah dengan Danang, Wak Tejo sebetulnya tidak setuju. "Danang itu bajingan, Nduk. Semua orang kampung juga tahu itu!" nasehat Wak Tejokepada Ndari. Tapi anaknya itu tetap ngotot. "Pokoknya aku mau nikah sama Danang. Kalau ndak boleh aku akan pergi dari rumah ini," ancam Ndari. Wak Tejo tidak mau anak perempuannya minggat dari rumah. Karena itu dengan berat hati ia restui anaknya menikah dengan bajingan itu.
***
Di satu sisi Wak Tejo agak terhibur melihat anak perempuannya itu tampak bahagia. Tapi di sisi lain ia melihat betapa Danang, sang menantu, tidak bisa diharapkan menjadi suami yang baik. Setelah beberapa tahun Wak Tejo mulai mencium adanya ketidak harmonisan dalam keluarga Ndari dan Danang. Suami isteri itu kerap bertengkar. Walaupun Ndari selalu menyembunyikan persoalan rumah tangganya namun naluri Wak Tejo sebagai orang tua tidak dapat dibohongi. Tapi Wak Tejo tahu ia tidak punya hak mencampuri urusan rumah tangga anaknya. Semakin hari Danang semakin menancapkan cengkeramannya di rumah. Kebiasaannya berjudi telah membuat harta Wak Tejo terkuras satu demi satu. Padahal untuk memperoleh semuanya itu Wak Tejo bersama almarhum isterinya dulu harus jungkir balik membanting tulang. Mulanya Wak Tejo diam saja walaupun ia tahu sepeda motor, tape recorder, televisidan beberapa barang lain di rumahnya raib satu per satu. Ia tahu persis bahwabarang-barang itu telah dijual oleh menantunya untuk menutupi hutang judi yang kian hari kian membengkak. "Ah, ndak kok Pak. Barang-barang itu dijual oleh Mas Danang untuk modal usaha. Bapak tahu sendiri kan kalau Mas Danang itu tidak punya pekerjaan tetap. Karena itu ia menjual barang-barang itu untuk modal usaha," kata Ndari ketika Wak Tejo berbicara kepadanya. Wak Tejo lalu menyadari bahwa Ndari sangat mencintai Danang. Bahkan cinta itu telah membutakan Ndari akan kelakuan bajingan itu. Kadang-kadang Wak Tejo berpikir bahwa Danang telah mengguna-gunai anaknya sehingga menjadi seperti itu. Tapi Wak Tejo tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak mau menodai kebahagiaan anaknya.Karena itu ia diam saja. Tapi rupanya makin hari tingkah Danang semakin di luar kontrol. Sawah dan ladang milik Wak Tejo yang rencananya akan dibagi-bagikan sebagai warisan telah dirampas oleh Danang. Tanpa sepengetahuan Wak Tejo dan entah bagaimana caranya Danang telah menggadaikan sawah-sawah itu. Wak Tejo meradang. Ia marah besar. Tapi kemarahan Wak Tejo bagaikan api yang menyulut bensin. Kemarahan Wak Tejodi balas dengan amarah yang lebih buas oleh Danang. Bahkan kalau tidak ada tetangga yang melerai mungkin Wak Tejo sudah tewas di tangan Danang. Wak Tejo diajak menyingkir oleh para tetangga. Wak Tejo ingin berontak tapi orang-orang itu terlalu erat memeganginya. Nafas Wak Tejo terengah menahan amarah. Sementara Ndari bersimpuh di pojokan sembari sesenggukan.
***
Besoknya tangis Ndari pecah karena ternyata sang suami tercinta nekat meninggalkan rumah. Meninggalkan dirinya dan kedua anak mereka. Ndari berusaha menahan tapi Danang tetap bergeming. "Bapakmu sudah menghinaku. Aku tidak sudi lagi hidup di rumah ini. Aku akan pergi dan kamu tidak perlu mencariku!" kata Danang menyibak tangan Ndari yang mencengkeram kuat-kuat bajunya. Danang melangkah dengan membawa amarah. Segala caci maki keluar dari mulutnya. Ndari berteriak memanggilnya untuk kembali. Tapi cinta dan air mata Ndari tidak cukup kuat untuk menarik Danang agar kembali. "Jangan pergi, Mas. Ingat anak-anak...," ratap Ndari. Tapi Danang tak peduli. Sementara itu dari jendela kamar sepasang mata tua milik Wak Tejo menerawang memandangi langit. Hatinya tercekik mendengar ratapan Ndari, anak yang amat dikasihinya.
***
Sejak kepergian suaminya Ndari lebih banyak menutup diri. Untuk menghidupi anak-anaknya Ndari membuka warung kecil-kecilan di depan rumah. Pagi-pagi sekali Ndari berjualan kue di pasar. Setelah dari pasar baru ia pulang untuk membuka warung di rumah. Dengan cara inilah Ndari melanjutkan hidup. Bagaimanapun Wak Tejo sudah terlalu tua untuk bekerja dan mau tidak mau Ndari harus memainkan peranan sebagai tulang punggung keluarga. Sebelum sawah miliknya digadaikan oleh Danang sebetulnya Wak Tejo masih memiliki penghasilan. Walau tidak banyak sawah itu masih memberikan pendapatan dari sistembagi hasil yang ia terapkan kepada para petani yang mengelolanya. Tapi kini WakTejo sama sekali tidak punya sumber penghasilan yang bisa diharapkan. Wak Tejo merasa tidak enak hati menggantungkan hidupnya pada Ndari. Ia kasihan padaNdari. Wak Tejo merasa dia lah yang menjadi penyebab runtuhnya rumah tangga anaknya itu. Tapi Wak Tejo tidak memiliki pilihan lain yang lebih baik. Karena itu ketika suatu hari tiba-tiba Danang kembali muncul Wak Tejo tidak bereaksi. Sepanjang Ndari dan cucu-cucunya tidak keberatan menerima kembali kehadiran bajingan itu maka Wak Tejo akan diam saja. Ia tidak ingin mengulangikesalahan yang sama kepada Ndari. "Maafkan saya, Pak. Tolong berikan saya kesempatan sekali lagi," kata Danang berusaha menyakinkan Wak Tejo. Wak Tejo diam dan membiarkan Danang mencium tangannya.
***
Kepulangan Danang ternyata tidak merubah banyak hal. Danang yang sekarang masih tetap sama dengan Danang yang dulu. Tidak ada yang berbeda selain kelicikannya yang semakin menjadi. Wak Tejo dapat merasakan itu. Pengalamannya menjalani hidup telah mengajarkan kepadanya bahwa tidak ada bajingan yang bisa dipercaya. Apalagi Danang. Sejak Danang kembali hati Wak Tejo tidak pernah lagi merasakan kedamaian. Waktu pun semakin ganas menggerogoti kerentaannya. Kian hari Wak Tejo merasa semakin lemah dan semakin cepat menjadi tua. Jiwa Wak Tejo bagai terbelenggu. Ingin ia berontak dan melepaskan diri. Tapi ia takut belenggu itu akan berbalik menyakiti anak dan cucu-cucunya. Jadi ia biarkan saja belenggu itu semakin erat mencengkeramnya. Kadang ia merasa dadanya sangat sesak dan tidak mampu lagi bernafas. Tapi Wak Tejo tahu ia harus bertahan. Ia tidak boleh mati atau bajingan itu akan menari-nari di atas mayatnya. Tapi perkiraan Wak Tejo salah. "Jadi kami beri waktu seminggu bagi Bapak dan keluarga untuk pindah," kata seorang petugas bank bernama Sujono di ruang tamu rumahnya sore itu. Wak Tejo bagai disambar petir ketika petugas itu menjelaskan bahwa rumah yang selama ini ditempatinya ternyata harus disita oleh bank. Danang telah menggunakan sertifikat tanah dan rumah untuk meminjam uang di bank dan Wak Tejo tak pernah tahu. Wak Tejo juga tidak pernah tahu kalau tabungannya di bank juga sudah terkuras habis oleh bajingan yang tinggal bersamanya itu. Ternyata untuk menari di atas mayatnya Danang merasa tidak perlu menunggunya matiter lebih dulu. Penjudi itu telah menghisap habis darahnya. Tak ada yang tersisa. Wak Tejo hanya menatap hampa pada langit yang membentang luas sore itu. Beberapa awan bergerak melintasinya. Mendung menggantung dan kemudian hujan seperti tertumpah dari langit. Wak Tejo kedinginan. Dirapatkannya sarung yang sedari tadi melilit di tubuhnya. "Masuk Mbah, hujan tuh!" teriak Nining, salah seorang cucunya. Wak Tejo beranjak dari kursi kayu tempatnya sedari tadi duduk tepekur. Langkahnya gontai memasuki rumahnya. Ah, bukan....rumah itu bukan lagi miliknya. Besok ia harus pergi meninggalkan rumah itu walaupun sampai detik ini Wak Tejo masih tidak tahu kemana mereka harus pergi. Sementara Danang, bajingan yang selama ini ia pelihara, entah kini berada di mana. (*)