Jumat, 16 Mei 2008

Jelaga

Oleh: atiek kusmiadi

MATAHARI sedang berkelakar di singgasana langit. Bumi kepanasan, sementara pepohonan letih menanti Sang Dewi Hujan. Kemarin ada Sang Dewi datang. Tapi matahari marah lalu mengusirnya pulang. Aromaneraka kembali menebar di balik hari, menghisap kering sumur-sumur kehidupan. Begitu pun dengan hati Lila. Detaknya menggelegak bagai neraka dalam kisah-kisah dikitab suci. "Bila kau anggap ini neraka, maka jangan bawa serta anak-anakmu lebur di dalamnya,"Mbak Retno berdiri lalu beranjak ke luar kamar. Lila bangkit dari pembaringan, menyeret langkah menuju sebuah meja kecil di pojokkamar. Sepucuk surat masih terbentang di dekat sebuah amplop yang tergeletakmenganga. Tanpa membaca sebenarnya Lila masih ingat betul isi surat itu. Bahkan setiap katayang tertera di situ masih membayang dan memalu dadanya. Namun ada kekuatan lainyang memaksa Lila membaca kembali surat itu. Bahkan sampai berulang-ulang. "Kini kau harus memutuskan di pelabuhan mana akan kau tambatkan perahu hatimu?Karena di sini aku semakin rapuh menanti bintang yang entah kapan 'kan kujelang," Deta Setitik air bening bergulir. Surat itu ditemukan Lila tadi pagi. Hampir hancur karena ikut tercuci bersama bajusuaminya. Mulanya ia mengira itu adalah bon-bon pembelian seperti yang biasa iatemukan di kantong kemeja suaminya. Tapi kali ini perkiraan Lila salah. Itu adalah sepucuk surat cinta. Lila tidak tahu siapa Deta, yang ia tahu surat ituadalah ancaman bagi surga kehidupan mereka. Lila melipat surat itu. Bersama amplopnya ia letakkan kembali di tempat semula, dikantong kemeja suaminya. Lila beranjak duduk di muka cermin. Lama ia coba mengenal bayangan perempuan yangada di cermin tersebut. Pancaran di mata perempuan itu sama sekali tidak ia kenal.Redup dan mati. Ya Tuhan bahkan aku merasa asing dengan bayangku sendiri, batin Lila. Perkataan Mbak Retno kembali terngiang-ngiang di telinga Lila. Dihapusnya kuat-kuat butiran bening yang tadi bergulir. Ia bertekad untuk berhenti menangisdan merebut kembali apa yang menjadi miliknya!

****
Hari berlalu sebagaimana biasa. Tidak ada yang berubah. Dan pagi yang tiba puntetap mendapat ucapan selamat datang dari Lila. Lila tidak ingin memulai perang terbuka dengan suaminya, karena itu persoalan itu ia simpan rapat-rapat. Sepanjang perhatian dan kasih sayang sang suami kepada keluarganya tidak berubah, Lila tidak ingin membangun ruang untuk perselisihan diantara mereka. Lila yakin ada cara lain untuk mengembalikan keutuhan keluarganya. Dengan bantuan Mbak Retno akhirnya Lila tahu siapa Deta, seorang wanita karir yang telah memiliki segalanya. Segalanya? Ya, segala yang tidak dimiliki Lila. Karir, kesempatan mengaktualisasikan diri, pergaulan, dan materi. Tapi tampaknya Deta bukan tipe perempuan penggoda. Apalagi bila terminologi penggoda di identikkan dengan fisik. Tidak, Deta jauh dari kategori itu. Busana yang ia kenakan pun selalu sopan, bahkan sangat sopan. Ia bukan tipe perempuan yang mengandalkan sex appeal untuk menarik perhatian lawan jenis. Dan Lila yakin ketertarikan suaminya kepada Deta pun bukan karena itu. "Tapi seberapa banyak pun kelebihannya, tetap ia tidak berhak merampas kebahagiaan kalian. Kebahagiaanmu dan anak-anakmu, Lila!" kata Mbak Retno. "Tapi apa yang bisa kugunakan untuk melawannya, Mbak? Dia memiliki segalanya.Cantik, berpendidikan, memiliki karir yang jelas, pintar. Sedangkan aku? Apa yang aku miliki sehingga Mbak yakin aku akan mampu memalingkan kembali cinta Mas Rudi kepadaku? Apa, Mbak?!" Lila tidak mampu menahan diri. Ia menangis tersedu-sedu. Mbak Retno terdiam. Ia tahu betul apa yang kini sedang berkecamuk di dada Lila.Dulu ia pernah merasakan hal yang sama. Dan itulah sebabnya ia bersikeras agar Lila berusaha sekuat mungkin mempertahankan kebahagiaan yang ia miliki. Mbak Retno tidak ingin Lila mengecap kepahitan yang sama dengannya. "Lil, mungkin kau tidak menyadari bahwa kau memiliki kekuatan lain yang mungkintidak miliki orang lain. Ketulusan, Lil. Aku mengenalmu seumur hidupku. Dan akutidak pernah menemukan orang yang memiliki ketulusan hati sepertimu," Mbak Retno mendekap Lila erat-erat. Sejak kematian orang tua mereka memang kedekatan kakakadik ini semakin mengental. "Mbak, aku berjanji tidak akan membiarkan orang lain merusak keluarga kami. Tapi kini aku perlu sendiri dulu. Aku perlu waktu untuk mencerna semua ini," jawab Lila. "Ya. Tapi jangan sampai ketika sadar kau telah kehilangan segalanya," jawab MbakRetno sambil berlalu.

****
Sore tadi hujan turun sangat lebat. Setelah sekian lama bumi mengharu biru kepanasan, hujan tadi sore itu menjadi berkah yang tidak terhingga bagi seluruh makhluk hidup. Jam di dinding kamar menunjuk ke angka 02.10 dini hari. Hujan kini tinggal menyisakan dingin. Suara binatang malam lamat-lamat terdengar meningkahi sunyi yang tidak kalah menggigit. Lila melipat mukena dan sajadahnya. Hari-hari belakangan ini ia merasa perlu meningkatkan intensitas pertemuan dengan-Nya. Persoalan memang terasa lebih ringandan hati menjadi lebih lapang bilamana kita pulangkan semua kepada Sang Pemilik. "Lila, kemarilah. Ada yang ingin kubicarakan." Suara Mas Rudi tiba-tiba memecahkesunyian di dalam kamar. Lila duduk di tepi tempat tidur. Menunggu. "Lila, sebetulnya sudah lama aku ingin mengatakan ini. Tapi aku rasa sekarang lahwaktu yang tepat," kata Mas Rudi pelan. Lila masih menunggu, tapi debur di dadanya terasa kian keras. "Sejak beberapa bulan lalu aku mengenal seorang wanita," suaminya memulai tapi laluterdiam sejenak. Ya Tuhan, beri kekuatan padaku untuk menghadapi apa yang akan terjadi, doa Liladalam hati. Sementara jauh di dalam dada ia merasa debur itu semakin menggila. "Tidak perlu dikatakan. Aku sudah tahu apa yang terjadi," kata Lila tiba-tiba.Suaminya terlihat kaget. "Mengapa? Terkejut? Mas, tolong jelaskan kepadaku, mengapa?" Lila berusaha kerasuntuk tidak menangis. Mas Rudi tidak berkata apa-apa. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak tahu...Sungguh, aku tidak tahu," jawabnya lirih. "Lalu....lalu kau akan menikah dengannya?" Sebetulnya Lila lebih senang bilasuaminya tidak menjawab apa-apa. Untuk beberapa saat suaminya diam. Tapi kepastian itu meluncur begitu saja darimulut Mas Rudi. "Ya....," jawabnya singkat. Walaupun jawaban itu keluar dari mulut Mas Rudi dengan sangat pelan tapi di telinga Lila bunyinya bagaikan halilintar yang menyambar dan mengoyak hidupnya.

****
Walaupun masih berharap semuanya akan kembali normal, namun semua usaha yang dilakukan Lila seperti menemui jalan buntu. Bahkan perselisihan kini kerap menodai kebersamaan mereka. Kian hari Lila merasa suaminya kian tak tersentuh. Jangankanmerengkuh penuh rindu, bertegur sapa saja kini ia enggan. Di ujung pengharapannya Lila berusaha mengetuk nurani Deta sebagai sesama wanita.Ia korbankan egonya untuk menemui Deta. Dalam hati ia menjerit tapi Lila merasa tidak lagi punya pilihan. "Jadi, maksud kedatangan Mbak, apa?" tanya Deta. "Saya hanya minta anda mempertimbangkan lagi keputusan anda untuk menikah dengan suami saya. Walaupun saya tidak masuk dalam pertimbangan anda, tapi cobalah untuk melihat anak-anak kami," Lila berkata perlahan. "Anda punya segalanya. Saya yakin anda bisa memilih lelaki manapun yang anda mau. Sementara kami? Kami tidak punya siapa-siapa selain Mas Rudi," Lila merasa matanya mulai panas. Tapi ia berusaha untuk tegar. "Mbak, saya mengerti. Sangat mengerti. Tapi...tapi saya tidak bisa," jawab Deta lirih. "Tidak bisa? Kenapa?" cecar Lila. "Karena....Karena kami sudah menikah lima hari yang lalu," Deta berusaha menyembunyikan perasaannya. "Tapi...." Lila tidak mampu menyelesaikan kalimatnya. Matanya basah. "Ya, Mbak. Saya minta maaf. Tapi semuanya sudah terjadi. Kami sudah menikah," kata Deta pasti. Lila merasa kalah. Tidak ada lagi yang bisa ia lakukan untuk menyelamatkan surgakehidupannya. Neraka itu kini betul-betul ada di depan mata, dan ia bersamaanak-anaknya terperangkap di bibir neraka itu. Pelita yang diharapkan mampu menerangi telah lama redup dan padam. Hidupnya kinitak lebih bagaikan jelaga. Lila melangkah dengan hati tercabik. Di balik pintu Deta memandang kepergian Lila. Butiran air bening mengalir di pipimulusnya. "Maafkan saya Mbak Lila. Tapi saya mencintai suami Mbak. Dan saya tidak mampuberkelit dari perasaan itu...," bisik Deta pedih. Ditariknya nafas dalam-dalam. Matanya terpejam rapat ketika menghembuskan kembalinafas itu dengan sangat perlahan. Deta berharap saat membuka mata, beban rasabersalah di hatinya akan ikut sirna. Tapi tentu saja itu sia-sia.

(*) --------------------------------- Buat sahabat yang kini berada di persimpangan. Kebahagiaan sejati hanya bisa diraihbila jalan yang dilalui tidak meninggalkan jejak luka bagi orang lain.

Tidak ada komentar: