Sabtu, 16 Juli 2011

Politieke betekenis

Riwan kusmiadi

Alas kakinya berdesik. Langkahnya pun terdengar berirama namun ada ketukan ketiga, sebuah tongkat yang lamban menemani tangan kanannya, dengan kuku yang mulai kusam dan berkerut. rambutnyapun putih yang menghitam. Sesekali tersenyum dengan gigi emas yang masih tersisa. walau kusam bajunya tetap rapi berwarna putih dan bergaris coklat. tak lupa sorban pun bergelantung di lehernya dan kini ia berada di ujung beranda ....

Diatas kursi yang reot. Masih lentik tangannya dengan gulungan tembakau dilembaran ketas. sesekali melepaskan asap putih yang penuh racun. Pandangannya kebelakang dan juga sesekali masih juga mengunpat,...bodoh!. tak usah kau bersusah dengan curhatan mu itu, cukup kau tersenyum dan besok masalah mu kan usai. kemudian tv reot itupun tak ayal berkerumun semut.
Berderik sisa grahamnya penuh geram. Berkomat kamait tak jelas yang tak lama kemudian mengusap dadanya yang tipis. Tak lama iapun beranjak,..lututnya bergetar tua dan dilepaskannya tongkat itu lalu tegak memandang kelangit yang tak kosong. Seperti berbisik namun lugas lantas ia berkata...
"Sikuda hitam terpelintir di ujung jalan. tersungkur bersama sang mentri dipundaknya. titah tak lagi jadi panutan dan tak lagi satu tujuan. lalu gajah bak pahlawan menjelajah seperti tak terbendung. lawan pun tertawa, sang hitam terperdaya. detik berlalu penuh hening dengan kelicikan yg bergerilya. keinginannya Raja jatuh namun tidak mengotori tangannya. dan ia berdingin darah, berwajah manis dengan strateginya yg kotor"

Tidak ada komentar: