Senin, 30 Maret 2009

SMS

Oleh: Atiek Kusmiadi

Tak sengaja sebetulnya aku membaca SMS itu. Dari kebiasaan bermain-main dengan hape orang-orang di rumah, baik itu hapeku, anakku sampai hape suamiku. Apalagi hape suamiku itu keluaran terbaru yang dibelinya kurang dari seminggu lalu. Dan bagiku yang terbiasa dengan hape butut, tentu saja aku jadi lebih penasaran ingin mengeksplornya.
Terlebih hari ini hari Minggu. Aku tidak perlu bangun pagi-pagi untuk menyiapkan sarapan anak dan suami. Anakku juga sedang menginap di rumah neneknya. Dan suamiku, pada jam segini (kulirik jam di samping tempat tidur, pukul 06.00 WIB) pastinya lagi nonton berita pagi di tv.
Kuraih sebuah hape yang berada dalam jangkauan terdekat denganku. Hape suamiku. Memang sudah menjadi kebiasaannya meletakkan hape di bawah bantal karena kadang-kadang sebelum tidur ia asyik mendengarkan lagu-lagu dari headset.
Sambil merilekskan diri karena kupikir hari ini hari libur, jariku mulai lincah berpindah dari satu tuts ke tuts lainnya. Memuaskan rasa ingin tahuku pada fitur-fitur yang dimiliki oleh hape yang menurut suamiku canggih itu.
Dari game, internet, galeri foto hingga akhirnya petualanganku berlabuh di layanan Pesan. Awalnya karena penasaran. Di dalam layanan Pesan Masuk tertera sederet pesan yang dikirimkan dari satu nomor yang sama. Sempat aku menghitungnya. Ada 10 pesan sekaligus. Nomor yang sama. Tanpa jeda. Lha, jarang-jarang toh orang ngirim 10 SMS sekaligus kalau tidak penting-penting amat.
Kubuka SMS pertama dari nomor itu. Wuss...hatiku langsung berdebar kencang. Kubuka SMS berikutnya, debaran itu semakin bertambah keras memukul-mukul dadaku. SMS ketiga, seperti sebuah batu besar jatuh menimpaku dan menghimpitku tepat di bawahnya. Tak bisa bergerak. Tak bisa bernafas. Dan ketika sampai di SMS terakhir aku sudah kehabisan kekuatan untuk mencerna apa yang baru saja aku baca.
Perempuan itu....Ya, samar-samar aku jadi ingat kembali sebuah kisah yang pernah diceritakan suamiku dulu, ketika kami belum mengikatkan diri pada komitmen pernikahan. Saat itu suamiku menceritakan bagaimana hubungannya dengan seorang perempuan dari masa lalunya. Yang berharap terlalu banyak dari dirinya yang tak bisa menawarkan apa-apa selain ketidakmampuannya untuk berterus terang mengatakan bahwa ia tidak bisa mencintai perempuan itu.
Dan kini, SMS-SMS tersebut berisi gugatan atas ketidakbahagiaan yang perempuan itu alami dari hubungan yang ia ciptakan dengan suamiku dulu. Gugatan yang menurutku sangat tidak pada waktunya.
Rasa penasaran terhadap apa jawaban suamiku terhadap SMS itu tidak lebih kecil dari rasa penasaranku ketika menemukan SMS itu tadi.
Di file Berita Terkirim aku dapat secara jelas membaca seluruh jawaban suamiku terhadap SMS dari perempuan itu. Dan kenyataan yang kuhadapi ternyata lebih menyakitkan daripada ketika tadi aku membuka SMS perempuan itu.
Gedubrak!!
Pintu kamar kubanting sekuat tenaga. Suamiku yang sedang duduk nonton televisi langsung menoleh. Dapat kutangkap keterkejutan di wajahnya. Aku memang tidak pernah bereaksi sekeras ini terhadap persoalan-persoalan yang kadang menimpa rumah tangga kami. Tapi saat ini aku tak peduli. Bahkan kalau harus memecahkan seluruh jendela dan membanting seluruh pintu yang ada di rumah ini sekalipun emosiku masih belum dapat terpuaskan. Dan itu membuatku tak mampu berkata-kata ketika suamiku menuntut penjelasan atas tindakanku itu.
"Ada apa? Kenapa membanting pintu?" ia bertanya tegas. Tapi di telingaku suaranya itu bagaikan suara orang yang penuh kepura-puraan.
Aku tidak bisa menjawab. Air mata mulai menggenangi pelupuk mataku. Aku berusaha sekuat tenaga untuk meredam ledakan-ledakan yang terjadi di dalam diriku. Mungkin kalau saat ini ada seseorang yang menyiramkan bensin ke arahku, badanku bisa langsung terbakar karena panasnya!
Sebagai jawaban, kulemparkan hape yang baru dibeli suamiku dengan uang bonus awal tahun dari kantornya itu ke dinding. Pyaarr!! Hape itu pecah berantakan.
Dapat kulihat dengan jelas perubahan di diri suamiku. Wajahnya menjadi tegang dan memerah. Mungkin ia marah. Tapi di mataku perubahan di wajahnya itu lebih karena dosanya yang terbongkar, bukan karena amarah yang ia tahan.
"Biar aku jelaskan," desisnya.
"Tak ada yang perlu kamu jelaskan!" mataku garang menatap langsung ke matanya. "Sungguh, aku sama sekali tidak mengira kau bisa melakukan ini. Kau sembunyikan semuanya dariku seolah tidak pernah terjadi apa-apa."
"Aku tidak bermaksud begitu," katanya pelan.
"Apapun maksud kamu, yang jelas kamu sudah tidak jujur kepadaku. Apa yang kamu harapkan dari semua ini? Apakah kamu pikir dengan SMS-SMS itu kamu bisa menembus lorong waktu dan memperbaiki keadaan untuk menebus rasa bersalahmu karena sudah meninggalkannya dulu?" Aku kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan apa yang kupikirkan.
Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan kepada laki-laki yang kini berstatus sebagai suamiku itu. Apa yang ada di pikirannya ketika meladeni SMS-SMS tak berguna itu. Apakah keberadaan aku sebagai seorang isteri sama sekali tak menjadi pengingat baginya dalam berhubungan kembali dengan perempuan itu dan mengenang semua masa lalu mereka? Semua pertanyaan itu berkumpul di kepalaku, berdesakan ingin saling mendahului keluar.
Tapi saat ini aku sedang tidak ingin mendebat siapa-siapa. Kenyataan yang kuhadapi telah mengguncangkan kesadaran dan minatku terhadap apapun. Kubanting pintu dan masuk ke kamar. Di atas kasur aku menangis sepuasnya.
Dapat kudengar samar-samar laki-laki itu memanggil-manggil namaku.

***

Kebuntuan dan kebisuan di antara aku dan suamiku tak pernah terpecahkan berhari-hari setelah hari Minggu itu. Aku tak peduli dan aku tak ingin berusaha mencairkan keadaan. Aku tidak sudi. Kalau dia tak menganggap keberadaanku sebagai seorang isteri, maka untuk apa aku harus repot-repot menghormatinya sebagai suami? Aku sendiri tak menyangka, dendam itu ternyata begitu cepat menguasai jiwaku.
Bahkan berhari-hari setelah peristiwa itu pun, ingatan akan SMS-SMS tersebut masih mampu membuat air mataku mengalir deras. Mengingat-ingat kesalahan memang selalu jauh lebih mudah daripada memaafkan!

***

Empat hari setelah peristiwa itu suamiku jatuh sakit. Aku tidak tahu pasti penyakit apa yang dideritanya. Aku tidak peduli. Yang aku lihat, ia terlihat jauh lebih lemah. Tubuhnya layu. Pucat. Tak bersinar.
Sama sepertiku, suamiku juga tak lagi banyak berbicara. Tak lagi ia berusaha membela diri atas semua tuduhan yang pernah aku lontarkan kepadanya. Ia kini lebih banyak diam. Sekali-sekali ia menyapaku, tapi aku tak berminat untuk membalas sapaan-sapaannya.
Namun betapapun dalam luka yang tertoreh di dalam hatiku, tetap saja lama kelamaan aku tak tega melihat kondisi suamiku. Sudah dua hari ini ia terbaring di tempat tidur. Badannya terasa panas. Ini aku tahu ketika secara tak sengaja menyentuh tangannya.
"Mungkin sebaiknya kamu ke rumah sakit," kataku dengan nada yang tak terlalu ramah. Sakit hatiku membuatku lebih suka memanggilnya dengan "kamu" saja. Bukan "Mas" seperti sebelumnya.
"Tidak usah," ia menjawab singkat.
"Kalau begitu, makanlah dulu." Aku sama sekali tak berusaha membujuknya untuk mau ke dokter. Kebiasaan yang selalu harus kulakukan setiap kali laki-laki itu sakit. Tapi kini aku tak berminat melakukannya. Biar saja, kalau tak tahan lagi toh ia akan berobat juga. Demikian batinku.
Tapi perkiraanku salah. Ia tetap tak kemana-mana. Dan kondisinya semakin hari semakin lemah. Anehnya, rasa kesalku kepadanya lebih besar daripada rasa kasihanku. Aku kesal karena ia membiarkan dirinya dikalahkan oleh penyakit itu. Aku kesal karena ia tak berusaha untuk sembuh. Apakah itu caranya untuk menghukum dirinya sendiri?!
"Jangan menyiksa dirimu sendiri seperti itu," kataku suatu malam, bagaimanapun aku tak ingin melihat dirinya terkapar terus menerus di tempat tidur.
Tapi ia sama sekali tak menjawab. Hanya matanya menatap lurus ke mataku. Lama sekali. Aku dapat melihat sebersit kepedihan terpancar di sana. Bahkan kulihat mata itu mulai berkaca-kaca. Ya Tuhan....tiba-tiba aku sadar bahwa suamiku sama terlukanya seperti aku. Walaupun mungkin untuk alasan yang berbeda.
"Mengapa kau tak bisa memaafkan?" desahnya pelan hampir tak terdengar.
Aku terpana mendengar dalamnya kesedihan yang menggantung dalam suara itu. Benarkah reaksiku sudah demikian melukai hati laki-laki ini? Tiba-tiba saja aku tidak mengerti harus berbuat apa. Tatapan mata suamiku yang sarat akan luka dan kesedihan ternyata membuat hatiku lebih terluka daripada sebelumnya. Aku sadar bahwa aku teramat mencintai laki-laki ini. Aku terluka ketika melihat ia terluka. Dan aku menderita melihat kesedihan yang membayang jelas di matanya. Di suaranya. Di penderitaannya.
"Ibu....Ibu...!"
Tiba-tiba suara anakku menyentakkan lamunanku. Aku berlari keluar kamar. Kudapati anakku sedang menangis sambil memanggil-manggil suamiku yang terkapar di lantai kamar mandi. Ya Tuhan, aku sama sekali tak menyadari kalau tadi suamiku sudah beranjak dari tempat tidurnya dan masuk ke kamar mandi. Kondisinya yang semakin lemah ternyata tak mampu menopang tubuhnya sehingga ia terjatuh.

***

"Suami ibu saat ini dalam keadaan koma. Kapan ia bisa sadar kembali kami tidak tahu. Bisa sehari, sebulan, setahun....atau mungkin tak akan pernah sadar sama sekali. Yang bisa kita lakukan saat ini hanya menunggu dan berdoa untuk yang terbaik," suara dokter masih terngiang-ngiang di telingaku. Tapi aku tak bisa lagi menangis. Seluruh emosi yang bercampur aduk di hatiku membuatku tak tahu lagi mesti menangis atau bagaimana. Semua terlalu cepat terjadi. Sebelum aku sempat mencernanya.
Di hadapanku, suamiku terbaring di tempat tidur rumah sakit dengan selang infus menancap di tubuhnya. Sama sekali tak ada gerakan. Hanya nafas yang terlihat samar-samar.
Dalam hati aku meraung-raung melihat betapa tak berdayanya orang yang kucintai itu kini.
Keesokan hari, ketika berkesempatan pulang ke rumah aku hanya duduk di tepi tempat tidur kami. Aku hanya bisa menciumi bantal suamiku yang kemarin masih ia tiduri. "Ya Tuhan...aku mencintai suamiku. Kembalikan ia Tuhan....Beri kesempatan kepadaku untuk meminta maaf kepadanya. Aku tak peduli apa yang sudah ia lakukan. Aku tak peduli. Aku hanya ingin ia kembali kepada kami, kepadaku dan kepada anakku."
Di balik bantal itu kutemukan hape milik suamiku yang tempo hari kubanting dan hancur berantakan. Tapi kini hape itu sudah kembali utuh. Rupanya suamiku sudah menyatukan kembali potongan-potongannya yang saat itu berserakan entah kemana-mana.
Kutekan tuts-tutsnya, walau tanpa emosi apapun. Bahkan aku tidak sadar ketika sampai pada file Berita Tersimpan. Hanya ada satu SMS di file itu.
"Sikapku telah membuat orang yang sangat kucintai terluka. Tapi sama sekali tak ada maksudku untuk menyakiti. Tahukah engkau, sikapmu yang tak mau memaafkan salahku itu juga telah membuatku terluka? Tapi untuk menebus kesalahan itu, akan kutahan dan kuikhlaskan luka itu....Dan aku.....".
Aku tak mampu melanjutkan membaca SMS yang tak pernah terkirim itu. Mataku sudah dipenuhi air mata. Kupeluk bantal itu erat-erat. Kuciumi. Kudekap. Sembari berharap bahwa dirimulah yang kudekap dan kuciumi itu, suamiku.... (*)

Minggu, 15 Maret 2009

Terpenjara

Oleh:
Atiek Kusmiadi

Untuk
yang ke sekian kalinya Drajat membaca surat itu. Bola matanya menari
dari satu kata ke kata lainnya. Drajat merasa sudah hampir hafal
setiap kata yang tertulis di sana. Namun begitu, tetap saja ia merasa
ingin membaca surat itu. Lagi dan lagi.
Sejak
kedatangan surat itu tiga hari yang lalu, Drajat seperti kebingungan.
Setiap kalimat yang keluar dari mulutnya seperti deretan kata yang
tak dipahaminya. Setiap tindakan yang ia buat bagaikan ia tak ada di
sana. Drajat bimbang. Mengambang. Sesungguhnyalah ia sangat
kebingungan.
"Anakku
di kampung harus segera dioperasi, Man. Tumor di otaknya tak bisa
lagi menunggu lama," kata Drajat kepada Oman, teman satu kosnya.
"Kata dokter, kalau tidak segera dioperasi Handoko anakku itu
tidak akan bisa hidup lebih lama."
Oman
diam saja. Dia sendiri tidak tahu harus berkata apa untuk menghibur
Drajat. Selama di Jakarta, hidup mereka berdua sama saja susahnya.
Pekerjaan sebagai kuli bangunan sama sekali tidak menjanjikan
apapun. Hanya cukup untuk bayar kos murahan, makan dua kali sehari
dan kalau berhemat-hemat bisa mengirimkan uang seadanya ke kampung.
"Sabar,
Jat. Semua persoalan pasti ada jalan keluarnya," kata Oman
sembari menepuk-nepuk bahu Drajat. Sesungguhnya ia sendiri tidak
yakin pada perkataannya. Tapi apa lagi yang bisa dikatakannya untuk
menghibur Drajat yang tampak sangat putus asa itu?
Drajat
membaringkan tubuhnya di atas kasur tipis tanpa sprei yang setiap
hari ia tiduri bersama Oman. Saking tipisnya, Drajat masih dapat
merasakan dingin lantai di bawahnya menembus hingga ke kulitnya. Di
luar hujan masih menggemuruh. Seharian ini Drajat dan kawan-kawannya
sesama kuli sama sekali tidak bisa bekerja. Hujan yang turun sangat
deras sejak subuh menghalangi mereka untuk bekerja.

Drajat
menarik sarung tua miliknya yang sudah setia selama bertahun-tahun
menemani. Dulu, sarung itu dibelikan istrinya di Pasar Pembangunan di
kampung halamannya. Bukan sarung mahal, tapi Drajat sangat gembira
waktu istrinya memberikan sarung itu sebagai hadiah ulang tahun.
Seumur-umur tidak pernah Drajat menerima hadiah ulang tahun. Bahkan
ia sendiri tidak pernah mengingat-ingat tanggal kelahirannya karena
memang ia merasa tidak ada gunanya.

Ditutupinya
seluruh tubuhnya dengan sarung itu. Dingin begitu menggigit. Drajat
meringkuk di pojokan. Tapi ia sama sekali tidak mampu memejamkan
mata. Bayangan Handoko, anak sulungnya, memenuhi pelupuk matanya.

"Ya
Tuhan, mengapa harus Handoko?" rintihnya dalam hati. Handoko
adalah putera pertamanya yang ia peroleh dengan susah payah. Tujuh
tahun setelah menikah, Drajat dan Narti istrinya masih belum memiliki
keturunan. Segala cara sudah mereka coba. Tapi hasilnya tetap nihil.
Mendekati
usia sepuluh tahun perkawinan baru Handoko lahir. Disusul kedua
adiknya. Walau sangat menginginkan anak, tapi kelahiran tiga anaknya
membuat Drajat harus ekstra keras membanting tulang. Dan penghasilan
dari buruh angkut pasar yang tidak seberapa memaksa Drajat mengadu
peruntungan di ibu kota.
Namun
sayang, di ibu kota nasibnya sama sekali tidak membaik. Tidak ada
pekerjaan yang bisa ia dapatkan. Minimnya pendidikan dan ketrampilan
membuat Drajat kalah bersaing dengan jutaan pencari kerja lain yang
memadati Jakarta. "Itu karena sampean sama sekali tidak
memiliki daya tawar," demikian kata seorang mahasiswa yang dulu
tinggal di sebelah kosannya. "Penampilan minim, ketrampilan nol,
pendidikan minus, lalu apa yang bisa sampean jual?" kata
mahasiswa itu jujur, namun entah kenapa terdengar kejam.
Tapi
Drajat tidak bisa menyalahkan penilaian jujur sang mahasiswa. Yah,
memang begitulah keadaannya. Dan kini, dengan penghasilan yang ia
peroleh dari pekerjaan sebagai kuli bangunan Drajat mati kutu
menghadapi vonis dokter atas penyakit anaknya.
Sampai
hari ini, surat dari isterinya itu belum sempat ia balas. Bukan
karena ia tidak punya waktu, tapi karena Drajat tidak tega mengatakan
kepada isterinya bahwa ia tidak punya uang atau harta yang bisa ia
jual untuk biaya pengobatan buah hati mereka. Narti pasti sangat
gelisah menanti jawaban darinya. Terlebih maut terasa begitu dekat
membayangi putra mereka Handoko. Dan waktu...tentu saja waktu tak
akan pernah mau menunggu!
Dari
beberapa teman yang ia datangi, tak satupun yang bisa membantunya.
Yah, bagaimana bisa membantu lha wong untuk hidup sendiri saja susah.
Drajat putus asa. Ia tidak melihat ada celah yang bisa menolongnya.
Mengharapkan teman, jelas itu tidak mungkin. Seluruh teman-temannya
itu miskin. Beberapa malah lebih miskin dari dirinya. Lalu bagaimana
ia mendapatkan uang Rp 50 juta yang diminta dokter?
Satu-satunya
harta berharga milik mereka adalah rumah yang kini ditinggali isteri
dan anak-anaknya. Tapi kalau rumah itu dijual, dimana mereka akan
tinggal? Sementara bantuan dari saudara sepertinya berat untuk
diandalkan.
Tiba-tiba
Drajat teringat sesuatu. Pak Mandor! Ya, mengapa selama ini tak
pernah terpikir olehnya? Bukankah ia bisa mencoba menemui Pak Mandor
dan menceritakan kesulitannya. Siapa tahu Pak Mandor bisa membantu.
Bukankah yang namanya mandor uangnya pasti banyak?




***



"Apa?
Kamu mau minta tolong Pak Mandor?" Oman kaget ketika pagi itu
Drajat mengatakan kepadanya bahwa ia akan menemui Pak Mandor.
"Ya,
siapa tahu dia bisa menolongku," jawab Drajat.
"Jaat....Jat!
Kayak kamu nggak kenal Pak Mandor saja. Dia itu kan terkenal
pelitnya! Mana mau dia membantu kamu, apalagi memberikan duit segitu
banyaknya!" kata Oman.
"Tapi....."
"Aku
nasehatkan kepadamu, Jat. Daripada kamu sakit hati nanti dimaki-maki
Pak Mandor, lebih baik kamu urungkan niatmu itu. Aku jamin Pak Mandor
tidak akan memberikan pinjaman sepeserpun untuk kamu!" kata
Oman.
Drajat
diam. Oman benar, pikirnya. Selama ini seluruh kuli yang bekerja di
proyek takut kepada Pak Mandor. Dia tipe orang yang selalu ingin
menunjukkan kekuasaannya. Orang lain tak boleh ada yang membantah
seluruh perintahnya. Belum lagi kalimat-kalimat pedas yang selalu
berloncatan keluar dari mulutnya yang berbisa. Terutama kalau sedang
marah.
Tidak,
tidak ada satupun kuli di proyek itu yang mau berurusan dengan Pak
Mandor kalau tidak terpaksa.
"Tapi
aku tidak punya pilihan, Man. Aku harus mencoba betapapun musykil
kemungkinan yang ada," kata Drajat kukuh.



***



"Dasar
tidak tahu diuntung! Kamu pikir aku ini bank yang bisa seenaknya
ngasih kamu duit?!" Siang itu suara Pak Mandor yang menggelegar
terdengar oleh seluruh kuli yang sedang istirahat makan siang. Oman
yang duduk bersama kuli lain bisa menebak apa yang sedang terjadi di
kantor Pak Mandor. "Pasti karena Drajat," batin Oman.
"Tapi
Pak, saya....,"

Drajat
tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena kata-kata yang kemudian
keluar dari mulut Pak Mandor lebih keras memotong suaranya.
"Tidak
ada tapi. Sudah untung kamu aku terima kerja di sini. Kamu pikir
dengan diterima bekerja di sini kamu bisa seenak perutmu minjem duit?
Dengar ya. Walaupun kamu seumur hidup jadi kuli di sini, kamu tidak
akan pernah bisa membayar cicilan untuk melunasi uang Rp 50 juta yang
kamu minta. Jadi sekarang lebih baik kamu keluar dan kembali
bekerja!" maki Pak Mandor.
"Tapi
bagaimana dengan nasib anak saya, Pak?" tanya Drajat masih terus
berusaha. Ia tidak punya pilihan. Cuma Pak Mandor satu-satunya
harapan untuk bisa mendapatkan pinjaman uang. Yah, walaupun tidak Rp
50 juta, berapa sajalah yang diikhlaskan Pak Mandor, demikian batin
Drajat.
Tapi
apa yang didengarnya kemudian membuat Drajat tak bisa bergerak dan
hanya mampu terpaku di tempatnya berdiri.
"Dengar!
Aku tidak peduli bagaimana nasib anakmu. Aku tidak peduli kalaupun
dia mampus sekalipun! Sekarang keluar!" Pak Mandor meledak.
Sekonyong-konyong
Drajat merasakan tekanan yang maha hebat mendesak-desak di dalam
kepalanya. Aliran darahnya berhenti sejenak dan tiba-tiba mengalir
deras menciptakan tekanan lain yang terus naik ke kepala. Menusuk,
menghantam, dan bagaikan palu yang terus-menerus dipukul menggempur
kesadarannya. Tekanan itu demikian keras menyerang Drajat dari
berbagai arah. Drajat berusaha mengendalikan diri, tapi sia-sia.

Drajat
tidak mampu lagi mencerna apa yang dialaminya. Pandangannya gelap.
Hatinya panas seperti akan meledak. Drajat merasakan bumi seakan
berputar-putar. Sedetik Drajat tidak sadar apa yang terjadi di
sekelilingnya. Namun ketika kesadaran itu datang, semua sudah
terlambat.
Drajat
melihat Pak Mandor terkapar di hadapannya bersimbah darah. Sebilah
kayu besar tergeletak di sampingnya. Berlumuran darah sama banyaknya.


Drajat
mendapati dirinya bersimpuh di dekat mayat Pak Mandor. Ketegangan
merayapi dirinya. Apa yang sudah kulakukan? Drajat membatin gelisah.
Oman
dan teman-teman Drajat lainnya tiba-tiba sudah berdiri mengelilingi
Drajat dan jenazah Pak Mandor. Seruan tertahan dan kengerian
membayang jelas di bola mata mereka.



****



Untuk
yang ke sekian kalinya Drajat membaca surat itu. Bola matanya menari
dari satu kata ke kata lainnya. Drajat merasa sudah hampir hafal
setiap kata yang tertulis di sana. Namun begitu, tetap saja ia merasa
ingin membaca surat itu. Lagi dan lagi.
Surat
itu datang tiga hari yang lalu. Dari istrinya, Narti. Bukan, Narti
bukan ingin meminta uang untuk biaya operasi anaknya. Tapi lebih dari
itu, Narti menulis bahwa kini Handoko tidak lagi membutuhkan biaya
operasi. Bahkan kini Handoko sudah terbebas dari rasa sakit yang tiap
hari menyiksanya. Handoko sudah meninggal.
Drajat
merasakan matanya panas. Sebulir air bening jatuh dari sudut matanya.


"Maafkan
Bapak, Han...Maafkan Bapak. Bapak memang tidak berguna....Tidak
berguna! Handoko...Handoko!!" Drajat berteriak sekuat tenaga.

Namun
seberapapun kuat Drajat berteriak, tetap saja beban yang menghimpit
ruang dadanya tak pernah berkurang sedikitpun. Teriakannya hanya
membentur dinding-dinding berjeruji yang kini mengurungnya. Drajat
terpenjara. Lahir dan batin! (*)